Aku datang tuk pulang
bukan sebagai siapa-siapa,
hanya seorang hamba
yang menjemput rindu
dari ujung barat pulau jawa.
Di bawah langit Madinah,
langit yang dahulu menyambut hijrah sang Nabi,
aku menunduk,
membiarkan debu menyentuh dahiku,
agar sujudku menyatu dengan tanah
yang pernah dilalui kaki manusia termulia.
Aku mendengar
suara tak terdengar dari menara Nabawi,
bukan hanya
adzan,
tapi gema doa dari jutaan lidah
yang tak mengenal satu bahasa,
namun memanggil nama yang sama:
Allah. Rasulullah. Rahmat seluruh alam.
Di Raudhah,
aku melihat wajah-wajah
dari kulit yang berbeda,
lidah yang tak seirama,
namun air mata mereka
turun dengan bahasa yang sama:
bahasa cinta.
bahasa rindu.
bahasa tunduk.
Aku di Tanah Hijrah,
dan di sinilah aku mengerti—
bahwa kemuliaan
bukan pada warna tubuh
bukan pada garis keturunan,
tetapi pada getaran jiwa
yang mengenal Tuhan lebih dekat
daripada nama belakangnya sendiri.
Wahai manusia…
di sini aku menyaksikan ayat-Nya hidup:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal…”(QS. Al-Hujurat: 13)
Dan aku mengenal mereka
bukan dengan lisanku,
tapi dengan sujud yang sejajar,
tak ada bangsawan, tak ada pelayan,
hanya hamba,
yang mendamba.
Aku di Tanah Hijrah.
Tempat semua warna larut dalam cahaya,
tempat semua nama luruh dalam Nama-Nya.
Dan di sini,
aku tidak lagi asing,
karena cintaku
berharap dikenal langit.
(Madinah, 25 Juni 2025)