Titik pertama, Arafah
Di antara debu dan doa
Di antara sela tanah lengang,
kutulis ulang namaku yang nyaris hilang—
anak dari dua tangan yang dulu
mengusap luka tanpa suara.
Angin menggiring tangis sunyi,
aku tunduk…
mencari wajah ibu
dalam lipatan ihram yang menyapu tanah,
mencari tapak ayah
di gurun usia yang tak menyisakan bayang.
Istriku…
di antara gelombang manusia ini,
namamu kusebut—zikir paling rahasia,
semoga cintamu tetap menyala
di bawah terik yang menguji
segala yang kita sebut kesetiaan.
Anak-anakku…
yang belum tahu getirnya jalan,
kupinta pada langit:
tulang yang kukuh, hati yang lapang,
dan angin yang setia membawa berkah
ke pangkuan kalian.
Titik ke dua, Muzdalifah
Malam menyebar seperti doa
Malam telah turun perlahan,
seperti ibu menyelimutkan gelisah
di tubuh kecilku yang dulu.
Aku baringkan lelah
pada batu yang dingin,
mengadu dalam diam
pada Tuhan yang tak pernah jenuh tuk mendengar.
Kuhitung dosa
seperti menghitung nafkah yang selalu kurang,
kuraba sabar
yang terbenam di sela kenangan
dan harap yang tertinggal di ujung sujud.
Ya Tuhan,
izinkan aku kembali ke rumah:
dengan hati yang baru dicuci langit,
tangan yang hangat memeluk luka,
dan dada
yang tak lagi terbakar oleh kelalaian.
Titik ke tiga, Mina
Setiap batu yang kulempar
bukan hanya untuk setan di luar sana,
tapi juga untuk diriku—
yang sering membanggakan luka,
dan merasa benar
di atas diam mereka yang sabar.
Di Mina,
aku tak cuma mengusir iblis,
aku menampar lupa dalam diri:
yang lupa bersyukur,
lupa minta maaf,
lupa menyentuh wajah yang mencintai
tanpa banyak kata.
Ya Allah,
izinkan aku pulang nanti—
bukan hanya sebagai haji,
tapi sebagai suami
yang mendengar istri meski dalam diam,
sebagai ayah
yang membaca tangis anak
seperti membaca ayat-ayat Mu,
dan sebagai anak
yang tak lagi malu mencium
surga di telapak kaki ibunya.
Tiga titik sujud,
Arafah, Muzdalifah, Mina—tiga wajah cinta:
saksi sunyi seorang lelaki
yang ingin pulang,
dalam peluk
yang lebih dalam
dari surga.
(Mekah, 11 Juni 2025)





