CCN, Serang —Di titik nol Sungai Cibanten, suara musik berpadu dengan lantunan puisi dan gerak tubuh simbolik yang memukau. Malam pembukaan Sasaka Cibanten 2025 menghadirkan sebuah persembahan teatrikal berjudul “Ngederes Cibanten” karya Ahdi Zuhruf Amri, yang menjadi refleksi tentang Sungai Cibanten sebagai sumber kehidupan, rahim sejarah, dan nadi kebudayaan Banten.
Dalam pertunjukan berdurasi sekitar 15 menit, Ahdi Zuhruf Amri mengolah unsur air, tanah, suara, dan cahaya menjadi bahasa teater yang menyentuh. “Sungai bukan hanya air yang mengalir,” tutur sang sutradara melalui narasi puitisnya, “tetapi juga rahim sejarah, mitologi, dan kehidupan.” Melalui simbolisasi naga putih penjaga mata air dan golok Ciumas di titik hulu, pertunjukan ini menyampaikan pesan spiritual bahwa Sungai Cibanten adalah harapan suci yang tak boleh diingkari.
Pertunjukan teatrikal tersebut menghadirkan kolase puisi, nyanyian, dan visualisasi elemen alam. Gerak tubuh para aktor menjadi doa kolektif — ajakan untuk merawat sungai, menjaga alam, dan menghidupi kebersamaan. Alunan kata dan gerak menyinggung persoalan ekologis masa kini: kerusakan sungai akibat kerakusan manusia, limbah industri, serta hilangnya nilai-nilai kearifan lokal.
“Menjaga sungai bukan sekadar menjaga air, tapi menjaga kehidupan,” tambah Ahdi
Acara Opening Ceremony Sasaka Cibanten 2025 ini digelar oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, dan dihadiri oleh sejumlah pejabat, di antaranya Direktur Warisan Budaya Kementerian Kebudayaan, I Made Dharma Suteja, S.S., M.Si, serta perwakilan Pemerintah Kabupaten Serang, Dinas Kebudayaan Provinsi Banten, dan berbagai pemangku kepentingan budaya.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8, Lita Rahmiati, S.Sos., MPP, dalam laporannya menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian panjang revitalisasi nilai-nilai budaya di sepanjang aliran Sungai Cibanten, dari hulu hingga hilir.
“Selama satu bulan penuh, Sasaka Cibanten menyusuri titik-titik penting kebudayaan — dari Ciomas, Banten Girang, hingga Kaibon dan Spelwijk. Kami ingin masyarakat kembali menyadari betapa sungai ini menyimpan memori peradaban yang membentuk Banten hari ini,” ujar Lita.
Perhelatan ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-25 Provinsi Banten, menegaskan makna spiritual dan historis bahwa air dan budaya adalah dua elemen yang tidak terpisahkan dalam membentuk jati diri masyarakat Banten.
Di penghujung malam, tepuk tangan panjang mengiringi alunan lagu “Cibanten, Jiwa dan Ragaku” yang menjadi penutup pementasan. Cahaya lampu memantul di permukaan air, menciptakan refleksi indah — seolah menegaskan kembali pesan dari teater malam itu: bahwa air adalah kehidupan, sungai adalah sejarah, dan menjaga keduanya adalah menjaga peradaban. (***)