Aku datang bukan sebagai hamba yang suci,
melainkan serpih-serpih dosa
yang tak tahu lagi cara mencintai Tuhan
selain berjalan mengitari harap
yang terselip di antara sudut Ka’bah.
Kakiku gemetar.
Lidahku kelu.
Tubuhku menyatu dalam arus tubuh-tubuh yang sama sunyinya.
Kami berjalan—
bukan karena tahu,
tetapi karena rindu.
Di setiap putaran,
kulihat wajah diriku sendiri
yang pernah menunda sujud,
menunda maaf,
menunda taubat
seolah waktu akan selalu bersahabat.
Ka’bah di tengah diamnya,
adalah cermin:
yang memantulkan segala yang kusembunyikan
di balik senyum dan pakaian.
Aku ingat ibuku.
Perempuan yang selalu menyebut nama-Nya
dalam bisik dan air mata.
Mungkin ia sedang mendoakanku
dari kejauhan,
agar kakiku tetap kuat
mengitari keheningan yang agung ini.
Aku ingat ayahku.
Lelaki yang jarang bicara,
tapi tak pernah lelah bekerja
demi anak-anak yang tak selalu tahu caranya berterima kasih.
Tawaf bukan hanya mengelilingi bangunan batu,
tapi mengelilingi diriku sendiri—
melihat dari sisi yang tak pernah sempat kupandang
dalam riuh hidup yang terlalu cepat.
Setiap langkah adalah pengakuan.
Setiap napas adalah permintaan.
Setiap putaran adalah peluruhan:
dosa, amarah, keangkuhan,
dan cinta pada dunia yang terlalu banyak menipu.
Tujuh putaran,
seperti tujuh tingkatan kesadaran
menuju rida-Nya.
Tak ada kata yang lebih indah
dari diamku di hadapan-Mu,
Ya Allah.
Engkau tahu siapa aku
bahkan sebelum aku belajar menyebut nama-Mu.
Engkau tahu luka yang kusembunyikan
bahkan saat aku pura-pura bahagia.
Maka terimalah aku
yang datang tak membawa apa-apa
selain air mata dan harap
yang hampir putus.
Dalam putaran terakhir,
aku berhenti,
namun hatiku terus berjalan
menuju-Mu
di setiap sujud,
di setiap tangis,
di setiap napas yang tersisa.
Tawaf,
bukan hanya perputaran kaki—
tapi perjalanan ruh
kembali pulang
ke Yang Satu.
(Mekah, 13 Juni 2025)





