Di antara Shafa dan Marwah,
aku berjalan—bukan hanya dengan kaki,
tapi dengan keyakinan…
yang kadang rapuh,
kadang teguh…
Aku bukan hanya tubuh yang lelah,
aku adalah jejak
yang mencoba memahami harap
dari langkah seorang Ibu.
Hajar…
Engkau bukan hanya nama dalam sejarah.
Engkau adalah puisi,
yang hidup dalam tujuh lintasan air mata.
Mencari air…
bagi anakmu yang menangis
di padang paling sunyi.
Langkahmu bukan lari dari takut,
tetapi lari… karena iman.
aku—
lari dari sunyi
lari ke sepi
lari mencari
lari dari mati
lari ke Hajar—lari!
bukit ke bukit
rindu ke rindu
shafa ku
marwah mu
aku—ibu!
aku—anak air yang
tak tahu jalan ke mata
sai-sai aku berlari
tak sampai-sampai pada sepi
tapi sampai pada doa
yang bernapas
dalam
detak
batu.
Aku pun berlari,
di antara batu dan harapan.
Mencari bukan hanya zamzam,
tapi cahaya…
Sa’i—
adalah lari dalam diam.
Pelajaran tentang cinta
yang tak selalu tenang,
dan harap
yang harus dibawa berlari.
ya air!
ya Tuhan!
ya sabar!
ya lari!
tujuh tapak tujuh langkah
tujuh detik tujuh desah
aku cari Tuhan
dalam gerimis pasir
dalam degup bunda
dalam sunyi yang
berdesah:
zamzam… zamzam… zamzam—
tapi tak ada air
hanya kepercayaan
yang bersuara
di tulang-tulang iman
yang haus—
Tujuh kali kuulang langkah ini,
seperti engkau, Hajar…
dan setiap kali…
aku bertanya:
“Masihkah aku percaya,
seperti engkau dulu… percaya?”
Dan ketika langkah terakhir
mencapai Marwah…
aku tahu:
yang kutemukan bukan hanya zamzam—
tetapi diriku
yang kini belajar,
bahwa setia,
kadang berarti
berlari.
sai-sai aku berlari
bukan untuk tiba
tapi untuk percaya
bahwa yang hilang
tak selalu lenyap
yang sabar
tak selalu diam
bahwa air
bisa muncul
dari hentak
yang penuh iman.
(Mekah, 13 Juni 2025)





