Di seberang sunyi Arafah
seorang anak lelaki berdiri,
bukan ulama, bukan jemaah istimewa,
hanya satu dari ribuan,
tapi pundaknya lebih berat
dari segunung dosa.
Ia datang bukan untuk namanya,
tapi untuk nama ibunya,
yang rebah di kursi roda tua
dengan wajah renta
dan mata yang menyimpan hujan doa.
“Bu, ini tanah yang Ibu rindukan.”
Bisiknya pelan,
seperti doa yang tak ingin didengar dunia.
Langkahnya tak gegas,
karena surga tidak pernah dicapai dengan tergesa.
Di Muzdalifah ia hamparkan rida
agar ibunya bisa rebah.
Dingin malam mencium pipi mereka,
tapi hangat cinta
meluruhkan segala lelah.
Di Mina, ia lemparkan batu-batu hasad:
batu keakuan,
batu masa lalu yang ingin bebas sendiri,
dan batu keluh-kesah yang dulu
sering membuatnya enggan menengok Ibu.
Ia tidak tahu
malaikat sedang mencatatnya
dengan tinta haru.
Ia hanya tahu
wajah ibunya kini bersinar,
dan napasnya tenang
seperti seorang ratu yang baru pulang
ke istana surga.
Di akhir haji,
orang-orang pulang membawa oleh-oleh,
anak itu pulang membawa
ridho seorang ibu.
Dan itu cukup,
karena ia tahu,
ridho ibu lebih mahal
dari zamrud di balik Ka’bah.
(Mekkah, 07 Juni 2025)