CCN, Jumat 17 Oktober -Setiap kali Hari Kebudayaan Nasional tiba, saya selalu bertanya pada diri sendiri: sejauh mana kita sungguh-sungguh hidup di dalam kebudayaan kita sendiri?
Bukan sekadar mengenakannya di hari peringatan, tetapi benar-benar menjadikannya napas dalam keseharian.
Di Kota Cilegon, saya melihat kenyataan yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di satu sisi, kita menyaksikan kemajuan luar biasa: industri berkembang, infrastruktur tumbuh, dan akses informasi semakin terbuka. Namun di sisi lain, budaya lokal perlahan kehilangan ruang hidupnya.
Anak-anak lebih mengenal karakter dari layar gawai ketimbang kisah-kisah rakyat yang dulu diceritakan oleh kakek-nenek mereka.
Kesenian tradisi tampil hanya saat lomba atau acara seremonial, bukan lagi bagian dari kehidupan yang alami.
Permasalahan utama kebudayaan kita hari ini bukan pada hilangnya warisan, tetapi pudarnya perhatian.
Kita terlalu sibuk mengejar kecepatan, hingga lupa menoleh pada makna. Akibatnya, generasi muda sering merasa kebudayaan adalah sesuatu yang “kuno” dan “tidak relevan”.
Padahal, kebudayaan bukan soal masa lalu — ia adalah cara kita menata masa depan dengan akar yang kuat.
Jika akar itu putus, kita akan tumbuh tanpa arah.
Saya percaya, solusi kebudayaan tidak bisa hanya datang dari pemerintah atau seniman, tapi harus lahir dari kesadaran bersama.
Ada beberapa langkah yang bisa kita tempuh bersama:
1. Menumbuhkan kembali pendidikan berbasis budaya lokal.
Sekolah bukan hanya tempat belajar rumus, tapi juga tempat menanam nilai. Guru bisa mengenalkan kearifan lokal lewat cerita rakyat, permainan tradisional, atau lagu daerah. Anak-anak yang tumbuh mengenal budayanya akan lebih percaya diri menghadapi dunia.
2. Menghidupkan ruang budaya di tengah masyarakat.
Balai warga, masjid, atau halaman kampung bisa menjadi tempat pertemuan budaya. Tidak harus besar — cukup ada ruang di mana musik tradisi, sastra lisan, dan kegiatan kreatif bisa tumbuh alami.
3. Mendorong kolaborasi lintas generasi.
Orang muda dengan teknologi dan ide baru bisa bekerja sama dengan para pelaku budaya sepuh untuk mendokumentasikan, mengemas ulang, atau mempopulerkan warisan lokal agar relevan di era digital.
4. Menjadikan kebudayaan bagian dari pembangunan.
Dalam setiap proyek industri dan pembangunan kota, aspek kebudayaan harus hadir — baik dalam arsitektur, tata ruang, maupun kegiatan sosial. Dengan begitu, Cilegon tidak hanya dikenal sebagai kota baja, tetapi juga kota yang berjiwa budaya.
Kita tidak sedang melawan zaman, kita sedang belajar hidup selaras dengan perubahan tanpa kehilangan jati diri.
Hari Kebudayaan Nasional adalah kesempatan untuk berhenti sejenak, menengok ke belakang, lalu melangkah ke depan dengan kesadaran baru:bahwa kemajuan tanpa kebudayaan hanyalah gerak tanpa arah.
Kebudayaan bukan milik masa lalu — ia milik kita yang memilih untuk terus menjaganya hidup, di tengah arus yang kian deras.
Karena bangsa yang berbudaya bukan bangsa yang paling maju, tapi bangsa yang paling tahu ke mana akar dan arah langkahnya.





